Teori
Roger Trancik
Secara umum para arsitek tertarik mengenai teori – teori
yang memandang kota sebagai produk. Roger Trancik sebagai tokoh perancangan
kota mengemukakan bahwa ketiga pendekatan kelompok teori berikut ini adalah
merupakan landasan dalam penelitian perancangan perkotaan, baik secara historis
maupun modern.
Ketiga pendekatan teori tersebut sama – sama memiliki suatu potensi sebagai
strategi perancangan kota yang menekankan produk perkotaan secara terpadu.
1.
Teori Figure/Ground
Pada teori ini dapat dipahami
melalui pola perkotaan dengan hubungan antara bentuk yang dibangun (building
mass) dan ruang terbuka (open space). Analisis figure/ground adalah alat yang
baik untuk:
·
Mengidentifikasikan sebuah tekstur dan
pola-pola tata ruang perkotaan (urban fabric)-
·
Mengidentifikasi masalah keteraturan masa atau
ruang perkotaan.-
Kelemahan analisis figure/ground muncul dari dua segi:
·
Perhatiannya hanya mengarah pada
gagasan-gagasan ruang perkotaan yang dua dimensi saja.-
·
Perhatiannya sering dianggap statis.-
Figure/ground berisi tentang lahan
terbangun (urban solid) dan lahan terbuka (urban void). Pendekatan figure
ground adalah suatu bentuk usaha untuk memanipulasi atau mengolah pola existing
figure ground dengan cara penambahan, pengurangan, atau pengubahan pola
geometris dan juga merupakan bentuk analisa hubungan antara massa bangunan
dengan ruang terbuka.
a. Urban solid
Tipe urban solid terdiri dari:
·
Massa bangunan, monument.
·
Persil lahan blok hunian yang ditonjolkan.
·
Edges yang berupa bangunan.
b. Urban void
Tipe urban void terdiri dari:
·
Ruang terbuka berupa pekarangan yang bersifat
transisi antara publik dan privat.-
·
Ruang terbuka di dalam atau dikelilingi massa
bangunan bersifat semi privat sampai privat.-
·
Jaringan utama jalan dan lapangan bersifat
publik karena mewadahi aktivitas publik berskala kota.-
·
Area parkir publik bisa berupa taman parkir
sebagai nodes yang berfungsi preservasi kawasan hijau.-
·
Sistem ruang terbuka yang berbentuk linier dan
curvalinier. Tipe ini berupa daerah aliran sungai, danau dan semua yang alami
dan basah.-
2.
Teori Linkage
Teori pada kelompok kedua ini
dapat dipahami dari segi dinamika rupa perkotaan yang dianggap sebagai
pembangkit atau generator kota. Analisa linkage adalah alat yang baik untuk
Memperhatikan dan menegaskan hubungan – hubungan dan gerakan – gerakan sebuah tata
ruang perkotaan (urban fabric).
Kelemahan analisa Linkage muncul dari segi lain adalah Kurangnya perhatian
dalam mendefinisikan ruang perkotaan (urban fabric) secara spatial dan
kontekstual.
Linkage artinya berupa garis semu yang menghubungkan antara
elemen yang satu dengan yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau
distrik yang satu dengan yang lain. Garis ini bisa berbentuk jaringan jalan,
jalur pedestrian, ruang terbuka yang berbentuk segaris dan sebagainya. Teori
linkage melibatkan pengorganisasian garis penghubung yang menghubungkan
bagian-bagian kota dan disain “spatial datum” dari garis bangunan kepada ruang.
Spatial datum dapat berupa: site line, arah pergerakan, aksis, maupun tepian
bangunan (building edge). Yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem
linkage dalam sebuah lingkungan spasial. Sebuah linkage perkotaan dapat diamati
dengan cara dan pendekatan yang berbeda, terdapat 3 pendekatan linkage
perkotaan:
a. Linkage yang visual.
Dalam linkage yang visual dua
atau lebih fragmen kota dihubungkan menjadi satu kesatuan yang secara visual,
mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala. Pada dasarnya ada 2
pokok perbedaan antara linkage visual, yaitu:
·
Yang menghubungkan dua daerah secara netral.-
·
Yang menghubungkan dua daerah, dengan
mengutamakan satu daerah.-
Lima
elemen linkage visual, merupakan elemen yang memiliki ciri khas dan suasana
tertentu yang mampung menghasilkan hubungan secara visual, terdiri dari:
·
Garis: menghubungkan secara langsung dua
tempat dengan satu deretan massa (bangunan atau pohon).-
·
Koridor: dibentuk oleh dua deretan massa
(bangunan atau pohon) yang membentuk sebuah ruang.-
·
Sisi: menghubungkan dua kawasan dengan satu
massa. Mirip dengan elemen garus namun sisi bersifat tidak langsung.-
·
Sumbu: mirip dengan elemen koridor , namun
dalam menghubungkan dua daerah lebih mengutamakan salah satu daerah saja.-
·
Irama: menghubungkan dua tempat dengan variasi
massa dan ruang.-
b. Linkage yang struktural.
Menggabungkan dua atau
lebih bentuk struktur kota menjadi satu kesatuan tatanan.Menyatukan kawasan
kawasan kota melalui bentuk jaringan struktural yang lebih dikenal dengan sistem
kolase (collage). Tidak setiap kawasan memiliki arti
struktural yang sama dalam kota, sehingga cara menghubungkannya
secara hierarkis juga dapat berbeda.
Fungsi linkage struktural di
dalam kota adalah sebagai stabilisator dan coordinator
di dalam lingkungannya, karena setiap kolase perlu diberikan stabilitas
tertentu serta distabilisasikan lingkungannya. Hal ini dapat
dilakukan dengan memprioritaskan sebuah daerah yang menjelaskan
lingkungannya dengan suatu struktur, bentuk, wujud, atau fungsi yang memberikan
susunan tertentu didalam prioritas penataan kawasan.
Ada tiga elemen linkage struktural yang mencapai
hubungan secara arsitektural, yaitu:
- Tambahan: melanjutkan
pola pembangunan yang sudah ada sebelumnya.
- Sambungan:
memperkenalkan pola baru pada lingkungan kawasan.
- Tembusan: terdapat dua
atau lebih pola yang sudah ada di sekitarnya dan akan disatukan sebagai
pola-pola yang sekaligus menembus didalam suatu kawasan.
c. Linkage bentuk yang kolektif.
Teori linkage memperhatikan
susunan dari hubungan bagian-bagian kota satu dengan lainnya. Dalam teori linkage, sirkulasi merupakan
penekanan pada hubungan pergerakan yang merupakan kontribusi yang sangat
penting. Linkage memperhatikan dan mempertegaskan hubungan-hubungan
dan pergerakan-pergerakan (dinamika) sebuah tata ruang perkotaan (urban
fabric)
Menurut Fumuhiko Maki, Linkage adalah
semacam perekat kota yang sederhana, suatu bentuk upaya untuk
mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik
suatu kota. Teori ini terbagi menjadi 3 tipe linkage urban
space yaitu:
- Compositional form:
bentuk ini tercipta dari bangunan yang berdiri sendiri secara 2 dimensi. Dalam
tipe ini hubungan ruang jelas walaupun tidak secara langsung.
- Mega form:
susunan-susunan yang dihubungkan ke sebuah kerangka berbentuk garis lurus
dan hirarkis.
- Group form: bentuk ini
berupa akumulasi tambahan struktur pada sepanjang ruang terbuka. Kota-kota tua
dan bersejarah serta daerah pedesaan menerapkan pola ini.
3.
Teori Place
Pada teori ketiga ini, dipahami dari
segi seberapa besar kepentingan tempat – tempat perkotaan yang terbuka terhadap
sejarah, budaya, dan sosialisasinya. Analisa place adalah alat
yang baik untuk:
- Memberi perngertian mengenai ruang
kota melalui tanda kehidupan perkotaannya.
- Memberi pengertian mengenai ruang
kota secara kontekstual.
Kelemahan analisa place muncul
dari segi perhatiannya yang hanya difokuskan pada suatu tempat perkotaan saja.
Trancik (1986) menjelaskan bahwa
sebuah ruang (space) akan ada jika dibatasi dengan sebuah void dan sebuah space
menjadi sebuah tempat (place) kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal
dari budaya daerahnya. Schulz (1979) menambahkan bahwa sebuah place adalah
sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Menurut Zahnd (1999)
sebuah place dibentuk sebagai sebuah space jika memiliki ciri khas dan suasana
tertentu yang berarti bagi lingkungannya. Selanjutnya Zahnd menambahkan suasana
itu tampak dari benda konkret (bahan, rupa, tekstur, warna) maupun benda yang
abstrak, yaitu asosiasi kultural dan regional yang dilakukan oleh manusia di
tempatnya. Sebuah tempat (place) akan terbentuk bila dibatasi dengan sebuah
void, serta memiliki ciri khas tersendiri yang mempengaruhi lingkungan
sekitarnya.
Madanipour
(1996) memberikan penjelasan bahwa dalam memahami tempat (place) dan ruang
(space) menyebut 2 aspek yang berkaitan:
1. kumpulan dari bangunan dan artefak (a collection of building and artifacts).
2. tempat untuk berhubungan sosial (a site for social relationship).
Selanjutnya menurut Spreiregen
(1965), urban space merupakan pusat kegiatan formal suatu kota, dibentuk oleh
façade bangunan (sebagai enclosure) dan lantai kota.
Jadi sudah sangat jelas bahwa sebuah jalan yang bermula sebagai space dapat
menjadi place bila dilingkupi dengan adanya bangunan yang ada di sepanjang
jalan, dan atau keberadaan landscape yang melingkupi jalan tersebut, sebuah
place akan menjadi kuat keberadaannya jika didalamnya memiliki ciri khas dan
suasana tertentu yang berarti bagi lingkungannya.
OLEH: Kal Asyar Yusuf, ARCA "45